Mengenal Gelar Nasab Dilingkup Kraton Catur Sagatra Mataram

Oleh: R. Budi Ariyanto Surantono / Ki Ariyo Wirosentono Al Djawi (*)


Dalam beberapa tahun terakhir banyak masyarakat di Jawa pada khususnya yang mulai tertarik lagi "nguripke obor" (menghidupkan obor) silsilah keluarganya, khususnya yang merasa masih memiliki garis keturunan raja Jawa (Mataram Islam).

Walaupun saat ini Kerajaan di Nusantara  sudah melebur dengan NKRI, namun semangat nguri-uri "nostalgia sistem monarki" masih menjadi saya tarik tersendiri, walaupun disadari juga bahwa strata sosial "darah biru" ini  sudah tidak terlalu berpengaruh lagi dalam kehidupan sosial masyarakat pada saat ini. 

Semangat  menghidupkan obor yang telah mati memang patut di apresiasi, karena dimasa  lalu banyak Leluhur yang dengan sengaja "memastikan obor" silsilah keluarganya, membuang "garis keningratan" nya dengan berbagai alasan tertentu baik karena kondisi ekonomi, kondisi politik ataupun kondisi lainnya yang membuat Leluhur kita dengan sengaja menutupi jati dirinya dimasa lalu.

Kini di era kemerdekaan (saat ini)  semua jadi berubah. Generasi saat ini mulai rindu kembali  dengan jati dirinya, silsilah leluhurnya dan ingin  "status strata sosial" nya dipulihkan kembali.

Ada yang ingin  murni ingin nguri uri silsilah leluhur agar tidak "Kepaten Obor" ,  ada pula  yang berorientasi meningkatkan kembali "strata sosial" nya dimasa kini. 

Gelar "Keningratan" yang sempat diabaikan masyarakat beberapa dekade setelah Indonesia merdeka kini kembali "diburu". Banyak yang ingin kembali mendapatkan gelar Raden, Raden Ayu, Raden Mas, Raden Nganten yang pernah dimiliki leluhurnya dulu. 

Tingginya animo masyarakat mengurus piagam nasab di Kraton Surakarta, Ngayogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman menunjukkan adanya pergeseran pola pikir bahwa kini "nguri-uri nasab" itu penting apapun motivasinya.

Gelar gelar "Keningratan"  mulai dianggap penting lagi untuk meningkatkan "status strata sosialnya". Walaupun juga diakui memiliki nasab keturunan raja tidak berbanding lurus dengan naiknya tingkat kemakmuran keluarga.

Tulisan saya kali ini akan fokus pada pengenalan gelar gelar nasab yang biasa digunakan dilingkungan Kraton Catur Sagatra Mataram yaitu Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman.

Gelar Raden, adalah gelar dasar yang bisa disematkan didepan nama seseorang yang masih memiliki garis keturunan (Tedhak Turun) Raja Raja Mataram Islam.

Raden biasa digunakan untuk tedhak turun laki laki yang sudah menikah, sedangkan bagi yang belum menikah bergelar Raden Bagus (R.B. atau R.Bg.), Untuk perempuan yang sudah menikah bergelar  R.Ngt. (Raden Nganten), sementara  yang belum menikah bergelar Raden Ajeng (R.A. atau R.Aj.).

Gelar tersebut menjadi berbeda apabila  tedhak turun masih memiliki urutan (Grad)  dekat (pendek) dengan Raja/Adipati yang bertahta. Bagi laki-laki yang sudah menikah dan memiliki urutan (Grad) garis urutan II - IV (Yogyakata) atau II-V (Surakarta) gelar Raden berubah menjadi Raden Mas (R.M.) , sementara gelar untuk wanita yang sudah menikah menjadi Raden Ayu (R.Ay.).

Gelar nasab tertinggi adalah Pangeran atau Putri untuk Grad I dibawah Raja/Adipati. Untuk laki laki bisa bergelar BPH. (Bendoro Pangeran Haryo) Atau B.R.Ay. untuk perempuan dan masih banyak gelar lainnya pada level ini. 

Gelar nasab adalah gelar yang diperoleh otomatis karena faktor hubungan darah. Tidak bisa ditolak, tidak bisa diminta dan tidak bisa direkayasa, karena merupakan takdir mutlak.

Sehingga gelar Raden/Raden Nganten dan gelar nasab lainnya tidak bisa dimiliki oleh mereka yang memang tidak memiliki garis genetik keturunan Raja atau Adipati.

Gelar nasab bisa diwariskan dan otomatis berlaku Turun menurun hingga beberapa generasi dibawah pancer Raja/Adipati baik secara d'fakto maupun secara d'jure.

Secara d'jure, Silsilah Tedhak Turun ini tercatat resmi di Kraton dan Kadipaten di Lingkungan Catur Sagatra Mataram. Di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Piagam Nasab ini bernama PIKUKUH, di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta bernama KEKANCINGAN, di Kadipaten Mangkunegaran Solo diberi nama PIAGAM SENTONO dan di Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dikenal dengan istilah NAWALA KEKANCINGAN. Selama Tedhak Turun (ahli waris) rajin mengurus piagam nasab ini, maka secara d'jure garis nasab akan selalu tercatat dengan baik dan tidak terputus.

Secara d'fakto, pengakuan terhadap garis nasab  bisa didapatkan dari pengakuan adat dan lingkungan. Misalnya secara turun temurun tinggal di lingkungan Komplek Kraton/Kadipaten. Menempati lahan/bangunan milik Kraton/Kadipaten secara turun temurun,  maka walaupun tidak memiliki Piagam nasab, garis Silsilah Darah Dalem nya tetap diakui oleh lingkungan tempat ia tinggal.

Penggunaan gelar nasab di NKRI boleh digunakan sebagai nama resmi (tercatat di Akta Kelahiran) atau hanya digunakan tanpa dicantumkan pada Akta Kelahiran. Walaupun tidak tercantum pada akta Kelahiran, gelar nasab bisa dicantumkan pada KTP atau Kartu Keluarga sebagai gelar tambahan diluar nama.

Tentu saja Piagam Nasab harus ada terlebih dahulu apabila kita ingin memasukan gelar nasab ke dalam KTP atau Kartu Keluarga Yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementrian Dalam Negeri. 

Karena Gelar Nasab adalah Gelar yang diperoleh karena hubungan darah, maka gelar ini bisa melekat kepada anak cucu kita (otomatis anak cucu memiliki gelar yang sama dengan kita). Sedangkan gelar Pangkat, walaupun sama-sama juga dikeluarkan oleh Kraton namun tidak bisa diturunkan kepada anak cucu kita. 

Gelar Pangkat biasanya diberikan kepada Abdi Dalem Kraton/Kadipaten atas Pengabdian atau 

"Ganjaran" (penghargaan) atas jasanya kepada Kraton/Kadipaten. Kalau Gelar Nasab hanya bisa dimiliki oleh Tedhak Turun Raja/Adipati, k Gelar Pangkat bisa dimiliki siapa saja baik masih memiliki garis keturunan raja ataupun tidak.


(*) Penulis adalah Pangersa Yayasan Pamerti Budaya Catur Sagatra, Tedhak Turun Sri Sultan Hamengkubuwono III & Sri Susuhunan Amangkurat Jawi